FILSAFAT BARAT DAN PERANANNYA DALAM PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
Perkembangan Pemikiran Filsafat Barat
Perkembangan pemikiran filsafat barat dapat dibagi menjadi empat periodisasi, yang pertama yaitu zaman Yunani Kuno yang bercirikan pemikiran kosmosentris ( para filosof mempertanyakan kejadian semesta alam ). Kedua yaitu zaman abad pertengahan dimana pemikiran para filosof masih banyak dipengaruhi oleh dogma – dogma agama kristiani. Ketiga zaman renaisans ( zaman yang sangat menaruh pada bidang seni lukis, arsitektur, music, sastra, filsafat, ilmu pengetahuan ) yang memberikan suatu perubahan yang revolusioner dalam pemikiran manusia. Keempat yaitu zaman modern dimana filosof menjadikan manusia sebagai obyek analisi filsafat sehingga bisa disebut sebagai zaman antroposentrisme.
1. Zaman Yunani Kuno
Zaman ini dimulai pada abad 6 sebelum masehi, disini terdapat 2 bentuk mite yang berkembang yaitu : mite kosmogonis yang mencari tahu tentang kejadian asal – usul alam semesta, dan mite kosmologis yang berusaha untuk mencari tahu asal – usul serta sifat terjadinya alam semesta. Ciri – ciri yang menonjol dari filsafat Yunani Kuno adalh perhatian terhadap gejala kosmik dan fisik sebagai ikhtiar guna menemukan asa mula ( Arche ). Thales menyimpulkan air sebagai Arche, Anaximander menyimpulkan bahwa sesuatu yang tidak terbatas ( apeiron ) sebagai asas mula kemudian Anaximenes bahwa udara adalah asas mula, dan Phytagoras menyatakan bahwa asas mula tersebut dapat diterangkan dengan menggunakan angka – angka, yang kemudian terkenal denga dalilnya tentang segitiga siku – siku.
Filsafat Yunani kuno semakin berkembang ketika muncul dua filosof yaitu Heraklitos yang mengemukakan tentang realitas yang tidak berubah (panta rhei khai uden menei) dan berbanding terbalik dengan Parmenides dalam gagasanya tentang “ada” yang kemudian filsafatnya berkembang dan dikenal sebagai Metafisika (yang ada itu ada dan yang tidak ada itu tidak ada) yang mana kemudian menjadi cikal bakal debat Metafisika. Herakleitos mewakili bidang ( Pluralisme dan Empirisisme ) dan Parmenides sebagai wakil dari bidang ( Monisme dan Rasionalisme )
Pemikir yang penting juga dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah Demokritos, yang menegaskan bahwa realitas tersusun dari atom ( atomos, dari a = tidak, dan tomos = terbagi ) yang kemudian menjadi cikal bakal ilmu fisika, kimia, dan biologi. Fisafat yang ramai dibicarakan adalah Socrates yang melalui metodenya ( Dialegesthai ) dialektika yang bisa diartikan dengan bercakap – cakap, Socrates menyebut metodenya sendiri dengan ( maieutike tekhne ) yaitu fungsi filosof hanya membidani ilmu pengetahuan. Kemudian metode ini diteruskan oleh muridnya sendiri yaitu Plato, ia menganggap bahwa berfilsafat itu mencari kebijaksanaan atau kebenaran yang hanya dapat dilakukan dengan bersama – sama dalam suatu dialog.
Plato dikenal sebagai filosof dualisme, yang mengambarkan dua buah kenyataan yang terpisah dan berdiri sendiri, yaitu dunia ide ( dunia yang tidak ada perubahan didalamnya, serta dunia bayangan atau inderawi ( dunia yang berubah–ubah mencakup yang ditangkap oleh indera ). Pemikiran Yunani kuno mencapai puncaknya pada masa murid dari Plato yaitu Aristoteles yang mengemukakan tugas utama dari ilmu pengetahuan adalah mencari penyebab – penyebab objek yang diselidiki, kemudian di rumuskan keempat penyebab itu :
a. Penyebab Material ( material cause ) : ini adalah bahan darimana benda dibuat. Misalnya kursi di buat dari kayu.
b. Penyebab Formal ( formal cause ) : ini adalah bentuk penyusunan bahan. Misalnya bentuk kursi ditambah pada kayu, sehingga kayu menjadi sebuah kursi.
c. Penyebab Efisien ( efficient cause ) : ini adalah sumber – sumber kejadian. Misalnya tukang kayu yang membuat kursi.
d. Penyebab Final ( final cause ) : ini adalah tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian. Misalnya kursi dibuat dengan tujuan sebagai tempat duduk.
2. Zaman Pertengahan (6-16 M)
Zaman pertengahan adalah zaman keemasaan bagi kekristenan, dimana dogma – dogma gereja sangat berpengaruh dalam berfilsafat, filsafat Agustinus yaitu manusia adalah ciptaan tuhan yang unik yang ikut ambil bagian untuk mendapatkan kasihnya, tuhan adalah ada sebagai ada, yang bersifat pribadi yang menciptakan seluruh jagad raya. Pada abad ini dikenal dengan predikat Ancilla Theologiae , yang mengambarkan bahwa tuhan adalah segala kebaikan dan tidak ada dualisme didalamnya, dan kitab suci mengajarkan bahwa alam semesta berawal mula dan filsafat tidak menjawab akan hal tersebut.
.Zaman ini juga dapat dikatakan sebagai sebagai suatu zaman yang penuh dengan upaya menggiring manusia ke dalam kehidupn atau system kepercayaan yang picik an fanatik, dengan menerima ajaran gereja secara membabi buta. Tujuan dari upaya itu untuk membimbing umat kearah hidup yang saleh.
3. Zaman Renaisans (14-16 M)
Zaman peralihan dari abad pertengahan yang ditandai dengan suatu era yang disebut dengan renaisans ( zaman yang sangat menaruh pada bidang seni lukis, arsitektur, music, sastra, filsafat, ilmu pengetahuan ) yang memberikan suatu perubahan yang revolusioner dalam pemikiran manusia. Sesudah mengalami masa kebudayaan tradisional yang sepenuhnya diwarnai oleh ajaran kristiani. Namun, orang-orang kini mencari orientasi dan inspirasi baru sebagai alternatif bagi kebudayaan Yunani-Romawi sebagai satu-satunya kebudayaan lain yang mereka kenal dengan baik. Kebudayaan klasik ini juga dipuja dan dijadikan model serta dasar bagi seluruh peradaban manusia.
Nicolaus Copernicus merupakan tokoh gerejani yang mengemukakan bahwa matahari sebagai pusat tata surya ( teori Heliosentrisme ) sumbangsih terhadap revolusi pemikiran akan alam semesta dan sebagai bentuk penolakan terhadap teorinya Ptolomeus ( Geosentrisme ) yang mengatakan bumi sebagai pusat tata surya. Kemudian Francis Bacon dalam ungkapannya ( Knowledge is Power ) pengetahuan adalah kekuasaan.
4. Zaman Modern (17-19 M)
Setelah pergerakan Renaisans kemudian dimatangkan dengan Aufklaerung yang semakin menekan kekuasaan gereja terhadap ilmu pengetahuan, sejak saat ini filsafat ilmu pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan kepastian intelektual ( sikap ilmiah )yang kebenarannya dapat diuji melalui metode, dimana kebenaran adalah never ending process tidak akan berhenti. Zaman ini merupakan zaman Antroposentrisme yang melihat manusia sebagai pusat penyelidikan dan menghasilkan beberapa aliran filsafat yaitu :
a. Rasionalisme
Aliran ini memandang bahwa budi atau rasio adalah sumber dan pangkal segala pengertian dan pengetahuan, dan budilah yang memegang tampu pimpinan dalam bentuk “mengerti”. Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya dengan sama sekali menyisihkan pengetahuan indra. Sebab, pengetahuan indra hanya menyesatkan saja. Dengan metode “keragu-raguan”, pmikir Descartes (1596-1650) ingin mencapai kepastian. Jika orang ragu-ragu, tampaklah ia berpikir, sehingga akan tampak dengan segera adanya sebab dari proses berpikir tersebut. Oleh karena itu, dari metode keraguan ini, muncullah kepastian tentang eksistensi dirinya sendiri. Itulah yang kemudian dirumuskan dengan “cogito ergo sum” (karena saya berpikir, maka saya ada).
Selanjutnya, Rene Descartes mengajarkan bahwa dalam diri manusia terdapat tiga “ide bawaan” (innate ideas). Ide bawaan ini sudah ada sejak lahir, yaitu pemikiran, Allah dan keluasan.
1) Pemikiran
Sebab saya memahami diri saya sendiri saya sebagai makhluk yang berpikir, maka harus diterima juga bahwa pemikiran itu merupakan hakikat saya.
2) Allah
Allah sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide “sempurna”, mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk idea itu, karena akibat tidak dapat melebihi penyebabnya. Wujud yng sempurna itu tidak hanyalah Allah.
3) Keluasan
Saya mengerti materi sebagai keluasan atau ekstensi, sebagaimana yang dilukiskan dan dipelajari oleh para ahli ilmu ukur.
b. Empirisme
Lawan rasionalisme adalah empirisme. Jadi, bukan budi yang menjadi sumber dan pangkal pengetahuan, melainkan indra atau pengalamanlah yang menjadi pangkal pengetahuan. Menurut pendapat penganut empirisme, metode ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori, tetapi a posteriori, yaitu metode yang berdasarkan atas hal-hal yang datang, terjadinya atau adanya kemudian.
Kalau rasionalis berpendapat bahwa manusia sejak lahir telah dikaruniai ide oleh Tuhan yang dinamakan idea innate atau idea terang benderang atau idea bawaan, maka kaum empiris berpendapat berlawanan. Mereka mengatakan bahwa waktu lahir jiwa manusia itu putih bersih (tabularasa), tidak ada bekal dari siapa pun.
c. Kritisme
Seorang filosof Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) telah melakukan usaha untuk menjembatani pandangan-pandangan yang saling bertentangan antara rasionalisme dan empirisme. Kritisme adalah sebuah teori pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsur dalam filsafat rasionalisme dan empirisme dalam suatu hubungan yang seimbang, yang satu tidak terpisahkan dari yang lainnya. Menurut Kant, pengetahuan merupakan hasil terakhir yang diperoleh dengan adanya kerjasama di antara dua komponen, yaitu disatu pihak berupa bahan-bahan yang bersifat pengalaman indrawi.
d. Idealisme
Ketidakpuasan terhadap ajaran Kant muncul yang justru dilakukan oleh murid-muridnya sendiri. Mereka tidak puas terhadap ajaran Kant yang mengatakan bahwa “Akal manusia tidak akan sampai pada pengetahuan tentang tentang fenomena atau gejala-gejala saja”.
Para murid Kant yang dulu setia bahkan berbalik menyerang Kant, dan mereka bermetafisika untuk mencari suatu dasar bagi renungan mereka. Dasar itulah yang kemudian dibangun menjadi suatu system metafisika. Mereka sangat memerhatikan kesadaran dan pengalaman yang dicari dan didapat dari dasar tindakan. Dasar tindakan itu adalah “AKU” yang merupakan subjek yang sekonkret-konkretnya. Dari dasar tersebut, lahirlah kesimpulan dan memberi keterangan tentang keseluruhan yang ada. Yang ada itulah yang disebut idealisme.
Karena idealisme itu berdasarkan subjek, maka ada yang menyebut aliran idealisme-subjektif. Tokoh-tokoh terkemuka idealisme ini adalah J.G. Fichte (1762-1814), F.W.J. Schelling (1775-1854), dan G.W.F. Hegel (1770-1831). Ficthe mengakui dan memberi prioritas yang tinggi kepada “AKU”, sehingga “aku” itu pun dianggapnya sebagai satu-satunya realitas. Hal ini dapat dimengerti, karena “aku yang otonom dan merdeka, menempatkan diri menjadi sadar akan objek yang dihadapi, yaitu bukan aku. Buka aku ini adanya tergantung pada aku dan fungsinya adalah yang harus dihadapi dan diatasi. Perkembangan terletak sepenuhnya pada hasil pengatasan objek (bukan aku).” Oleh karena itu, aku ini akan tampak sebagai titik tolak pandangannya dan merupakan criteria terakhir dari kebenaran pengetahuan. Dengan demikian, idealisme Fitchte ini tampak sangat subjektif.
Pandangan yang lebih jauh dan luas dalam aliran ini adalah pandangan Schelling. Ia mengaku bahwa objek (bukan aku) itu sungguh-sungguh ada. Sebaliknya, kalau Fichte mengatakan bahwa adanya objek (bukan aku) itu tergantung pada aku (subjek), jadi objek itu muncul dari aku, maka Schelling tidak demikian. Ia megatakan bahwa aku (subjek) muncul dari alam (bukan aku) yang sungguh-sungguh ada. Akan tetapi, munculnya aku dari alam adalah yang telah sadar, jadi tampak ada keserasian dengan pandangan Fichte. Lebih lanjut dikatakan bahwa kedudukan budi dan alam itu sederajat, yakni berhadap-hadapan sebagai subjek dan objek. Sebenarnya, keduanya itu muncul dari Tuhan yang semakin tinggi dengan sederajatnya. Budi juga muncul dari Tuhan yang yang menyadari lalu menjelma menjadi ilmu, moral, sejarah, negara, dan seterusnya. Jadi, karena Schelling mengakui adanya objek sebagai realitas, maka idealismenya dinamakan idealisme-objektif.
Lebih mendalam lagi adalah idealismenya Hegel yang sangat konsesuen. Corak umum filsafat Hegel adalah “dialektika”, yaitu tesis yang menimbulkan antithesis dan membentuk sintesis, dan sintesis ini sekaligus adalah sintesis baru, dan begitu seterusnya.
Filsafat Hegel mencari yang mutlak daripada yang tidak mutlak. Yang mutlak adalah ruh (jiwa), tetapi ruh itu menjelma pada alam yang sadar akan dirinya. Ruh adalah idea, artinya berpikir. Dalam sejarah kemanusiaan, ruh sadar akan dirinya, dan kemanusiaan merupakan bagian daripada idea yang mutlak, yaitu Tuhan. Selanjutnya dikatakan bahwa idea yang berpikir itu sebenarnya adalah gerak, yaitu gerak yang menimbulkan gerak yang lain. Gerak ini mewujudkan suatu tesis yang dengan sendirinya menimbulkan gerak yang berlawanan, yaitu antithesis. Akhirnya, ada tesis gerak yang mutlak dan antitesis ini menimbulkan sintesis yang sekaligus merupakan tesis baru serta kemudian menimbulkan pula antitesis, begitulah seterusnya.
Jadi, filsafat Hegel memberikan suatu kesimpulan bahwa pada hakikatnya yang mutlak adalah gerak, bukannya sesuatu yang tetap dan tidak berubah serta melatarbelakangi suatu hal. Proses gerak secara dialektika itu dapat berlaku pada segala kejadian dan berlaku menurut hokum budi. Kren itulah Hegel datang pada kriterianya bahwa semua yang masuk akal itu sungguh-sungguh ada, dan apa yang sungguh-sungguh ada itu dapat dipahami.
e. Positivisme
Lain negeri lain pula perkembangannya. Begitu pula perkembangan filsafat di prancis. Di sana, orang mengalami suatu revolusi yang hebat. Wahyu dan agama ditumbangkan dari kedudukannya dan diganti dengan tradisi sebagai pegangan dan kepastian berpikir. Aliran ini disebut tradisonalisme. Di lain pihak, di Prancis juga muncul aliran baru, yaitu positivisme, yang ditokohi oleh Auguste Comte. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.
Tokoh-tokoh positivisme antara lain adalah H. Taine (1828-1893), yang mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik dan kesastraan. Emile Durkheim (1858-1917) yang menganggap positivisme sebagai asas sosiologi. John Stuart Mill (1860-1873), seorng filosof Inggris, yang menggunakan system positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan.
f. Fenomenologi
Menurut Husserl “prinsip segala prinsip” ialah bahwa hanya intuisi langsung (dengan tidak menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai sebagai kriteria terakhir dibidang Filsafat. Hanya apa yang secara langsung diberikan kepada kita dalam pengalaman dapat dianggap benar dan dapat dianggap benar “sejauh diberikan”. Dari situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara langsung kepada saya sebagai subjek, seperti akan kita lihat lagi. Fenomenologi merupakan ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi mempelajari suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri.
“fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita., realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu.
g. Strukturalisme
Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap.
Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat).
Para strukturalis filosofis yang menerapkan prinsip-prinsip strukturalisme linguistic dalam berfilsafat beraksi terhadap aliran filsafat fenomenologi dan eksistensialisme yang melihat manusia dari satu sudut pandangan subyektif. Para penganut aliran filsafat ini memiliki corak beragam, namun demikian mereka memiliki keamaan, yaitu penolakan terhadap prioritas kesadaran.
h. Evolusionisme
Akibat perkembangan aliran positivisme, lahirlah aliran evolusionisme. Tokoh aliran ini yang terkenal adalah Charls Darwin (1809-1882) dan Herbert spencer (1802-1903). Darwin mengajukan teori perkembangan bagi segala sesuatu termasuk manusia. Manusia adalah perkembangan tertinggi dari taraf hidup yang paling rendah, yaitu alam, dan juga diatur oleh hokum-hukum mekanik. Hokum “survival of the fittest dan hokum struggle for live” pada tumbuh-tumbuhan dan hewan, berlaku pula pada manusia, dan itu merupakan hokum tertinggi bagi manusia. Karena itulah, ia sampai memandang bahwa manusia tidak berbeda dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan serta dengan benda apa pun. Suatu prediksi pun muncul karena perkembangan ini, yang mengatakan bahwa suatu hari nanti akan muncul manusia yang lebih sempurna dari manusia saat ini.
Jika ditinjau dari segi filsafat, pada intinya hal ini tidak berbeda dengan pandangan positvisme tentang ilmu pengetahuan. Manusia tidaklah tahu mengenai hal-hal yang mengatasi pengalaman, karena yang sungguh-sungguh ada adalah yag dialami, sedangkan yang lain bukanlah kesungguhan. Demikianlah pandangan Darwin, sehingga alirannya disebut Darwinisme.
Sedangkan Herbert Spencer memberikan kemajuan ada system filsafat evolusionisme ini. ia berpendapat bahwa yang dapat dikenal adalah “menjadi” bukannya yang “ada”. Ilmu merupakan sebagian dari engetahuan “menjadi”, sedangkan filsafat adalah keseluruhan dari pngetahuan “menjadi” tersebut. Ilmu mempunyai pangkalnya pada kebenaran apriori: ketidakmusnahan bahan, kekkekalan gerak, dan pertahanan kekuatan. Proses dunia ini tidak lain adalah perkumpulan kembali gerak dan bahan. Karena itu evolusi adalah peralihan dari bahan mati. Evolusi member keterangan-keterangan akan hubungan di antara gejala-gejala. Akan tetapi, evolusi tidak memberi keterangan terakhir kepada adanya gejala-gejala itu.
i. Postmodernisme
Pada abab ke-20 ada aliran filsafat yang pengaruhnya dalam dunia praktif cukup besar, yaitu aliran filsafat pragmatism. Seorang tokoh pragmatism yaitu Willen jams (1842-1910) membedakan dua macam bentuk pengetahuan, pertama; pengetahuan yang langsung diperoleh dengan jalan pengamatan. Kedua, merupakan pengetahuan tidak langsung yang diperoleh dengan melalui pengertian.
Postmodernisme sebgai trend dari suatu pemikiran yang sangat popular pada penghujung abad ke-20 ini merambah berbagai bidang dan disiplin ilmu filsafat dan ilmu pengetahuan. Istilah “postmodernisme: telah digunakan dalam demikian banyak bidang dengan hiruk-pikuk, yang merupakan reaksi terhadap kegagalan modernism.
Jurgen Habermas adalah filosof abad ke-20 dapat dikategorikan sebagai filosof postmodernisme, namun ia juga tokoh utama mazhab Frankfurt atau teori kritis.
j. Non-Aliran
Selain dari filosof-filosof yng termasuk aliran-aliran tersebut di atas, ada beberapa filosof dalam filsafat barat yang berpengaruh dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, diantaranya Kartl Raimund Popper.
Filosof berikutnya adalah Paul Kartl Feyeraband, ia terkenal dengan istilah anarkisme epistemology, yang kemudian dipertentangkan dengan anarkisme politik atau religious.
Perkembangan pemikiran filsafat barat dapat dibagi menjadi empat periodisasi, yang pertama yaitu zaman Yunani Kuno yang bercirikan pemikiran kosmosentris ( para filosof mempertanyakan kejadian semesta alam ). Kedua yaitu zaman abad pertengahan dimana pemikiran para filosof masih banyak dipengaruhi oleh dogma – dogma agama kristiani. Ketiga zaman renaisans ( zaman yang sangat menaruh pada bidang seni lukis, arsitektur, music, sastra, filsafat, ilmu pengetahuan ) yang memberikan suatu perubahan yang revolusioner dalam pemikiran manusia. Keempat yaitu zaman modern dimana filosof menjadikan manusia sebagai obyek analisi filsafat sehingga bisa disebut sebagai zaman antroposentrisme.
1. Zaman Yunani Kuno
Zaman ini dimulai pada abad 6 sebelum masehi, disini terdapat 2 bentuk mite yang berkembang yaitu : mite kosmogonis yang mencari tahu tentang kejadian asal – usul alam semesta, dan mite kosmologis yang berusaha untuk mencari tahu asal – usul serta sifat terjadinya alam semesta. Ciri – ciri yang menonjol dari filsafat Yunani Kuno adalh perhatian terhadap gejala kosmik dan fisik sebagai ikhtiar guna menemukan asa mula ( Arche ). Thales menyimpulkan air sebagai Arche, Anaximander menyimpulkan bahwa sesuatu yang tidak terbatas ( apeiron ) sebagai asas mula kemudian Anaximenes bahwa udara adalah asas mula, dan Phytagoras menyatakan bahwa asas mula tersebut dapat diterangkan dengan menggunakan angka – angka, yang kemudian terkenal denga dalilnya tentang segitiga siku – siku.
Filsafat Yunani kuno semakin berkembang ketika muncul dua filosof yaitu Heraklitos yang mengemukakan tentang realitas yang tidak berubah (panta rhei khai uden menei) dan berbanding terbalik dengan Parmenides dalam gagasanya tentang “ada” yang kemudian filsafatnya berkembang dan dikenal sebagai Metafisika (yang ada itu ada dan yang tidak ada itu tidak ada) yang mana kemudian menjadi cikal bakal debat Metafisika. Herakleitos mewakili bidang ( Pluralisme dan Empirisisme ) dan Parmenides sebagai wakil dari bidang ( Monisme dan Rasionalisme )
Pemikir yang penting juga dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah Demokritos, yang menegaskan bahwa realitas tersusun dari atom ( atomos, dari a = tidak, dan tomos = terbagi ) yang kemudian menjadi cikal bakal ilmu fisika, kimia, dan biologi. Fisafat yang ramai dibicarakan adalah Socrates yang melalui metodenya ( Dialegesthai ) dialektika yang bisa diartikan dengan bercakap – cakap, Socrates menyebut metodenya sendiri dengan ( maieutike tekhne ) yaitu fungsi filosof hanya membidani ilmu pengetahuan. Kemudian metode ini diteruskan oleh muridnya sendiri yaitu Plato, ia menganggap bahwa berfilsafat itu mencari kebijaksanaan atau kebenaran yang hanya dapat dilakukan dengan bersama – sama dalam suatu dialog.
Plato dikenal sebagai filosof dualisme, yang mengambarkan dua buah kenyataan yang terpisah dan berdiri sendiri, yaitu dunia ide ( dunia yang tidak ada perubahan didalamnya, serta dunia bayangan atau inderawi ( dunia yang berubah–ubah mencakup yang ditangkap oleh indera ). Pemikiran Yunani kuno mencapai puncaknya pada masa murid dari Plato yaitu Aristoteles yang mengemukakan tugas utama dari ilmu pengetahuan adalah mencari penyebab – penyebab objek yang diselidiki, kemudian di rumuskan keempat penyebab itu :
a. Penyebab Material ( material cause ) : ini adalah bahan darimana benda dibuat. Misalnya kursi di buat dari kayu.
b. Penyebab Formal ( formal cause ) : ini adalah bentuk penyusunan bahan. Misalnya bentuk kursi ditambah pada kayu, sehingga kayu menjadi sebuah kursi.
c. Penyebab Efisien ( efficient cause ) : ini adalah sumber – sumber kejadian. Misalnya tukang kayu yang membuat kursi.
d. Penyebab Final ( final cause ) : ini adalah tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian. Misalnya kursi dibuat dengan tujuan sebagai tempat duduk.
2. Zaman Pertengahan (6-16 M)
Zaman pertengahan adalah zaman keemasaan bagi kekristenan, dimana dogma – dogma gereja sangat berpengaruh dalam berfilsafat, filsafat Agustinus yaitu manusia adalah ciptaan tuhan yang unik yang ikut ambil bagian untuk mendapatkan kasihnya, tuhan adalah ada sebagai ada, yang bersifat pribadi yang menciptakan seluruh jagad raya. Pada abad ini dikenal dengan predikat Ancilla Theologiae , yang mengambarkan bahwa tuhan adalah segala kebaikan dan tidak ada dualisme didalamnya, dan kitab suci mengajarkan bahwa alam semesta berawal mula dan filsafat tidak menjawab akan hal tersebut.
.Zaman ini juga dapat dikatakan sebagai sebagai suatu zaman yang penuh dengan upaya menggiring manusia ke dalam kehidupn atau system kepercayaan yang picik an fanatik, dengan menerima ajaran gereja secara membabi buta. Tujuan dari upaya itu untuk membimbing umat kearah hidup yang saleh.
3. Zaman Renaisans (14-16 M)
Zaman peralihan dari abad pertengahan yang ditandai dengan suatu era yang disebut dengan renaisans ( zaman yang sangat menaruh pada bidang seni lukis, arsitektur, music, sastra, filsafat, ilmu pengetahuan ) yang memberikan suatu perubahan yang revolusioner dalam pemikiran manusia. Sesudah mengalami masa kebudayaan tradisional yang sepenuhnya diwarnai oleh ajaran kristiani. Namun, orang-orang kini mencari orientasi dan inspirasi baru sebagai alternatif bagi kebudayaan Yunani-Romawi sebagai satu-satunya kebudayaan lain yang mereka kenal dengan baik. Kebudayaan klasik ini juga dipuja dan dijadikan model serta dasar bagi seluruh peradaban manusia.
Nicolaus Copernicus merupakan tokoh gerejani yang mengemukakan bahwa matahari sebagai pusat tata surya ( teori Heliosentrisme ) sumbangsih terhadap revolusi pemikiran akan alam semesta dan sebagai bentuk penolakan terhadap teorinya Ptolomeus ( Geosentrisme ) yang mengatakan bumi sebagai pusat tata surya. Kemudian Francis Bacon dalam ungkapannya ( Knowledge is Power ) pengetahuan adalah kekuasaan.
4. Zaman Modern (17-19 M)
Setelah pergerakan Renaisans kemudian dimatangkan dengan Aufklaerung yang semakin menekan kekuasaan gereja terhadap ilmu pengetahuan, sejak saat ini filsafat ilmu pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan kepastian intelektual ( sikap ilmiah )yang kebenarannya dapat diuji melalui metode, dimana kebenaran adalah never ending process tidak akan berhenti. Zaman ini merupakan zaman Antroposentrisme yang melihat manusia sebagai pusat penyelidikan dan menghasilkan beberapa aliran filsafat yaitu :
a. Rasionalisme
Aliran ini memandang bahwa budi atau rasio adalah sumber dan pangkal segala pengertian dan pengetahuan, dan budilah yang memegang tampu pimpinan dalam bentuk “mengerti”. Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya dengan sama sekali menyisihkan pengetahuan indra. Sebab, pengetahuan indra hanya menyesatkan saja. Dengan metode “keragu-raguan”, pmikir Descartes (1596-1650) ingin mencapai kepastian. Jika orang ragu-ragu, tampaklah ia berpikir, sehingga akan tampak dengan segera adanya sebab dari proses berpikir tersebut. Oleh karena itu, dari metode keraguan ini, muncullah kepastian tentang eksistensi dirinya sendiri. Itulah yang kemudian dirumuskan dengan “cogito ergo sum” (karena saya berpikir, maka saya ada).
Selanjutnya, Rene Descartes mengajarkan bahwa dalam diri manusia terdapat tiga “ide bawaan” (innate ideas). Ide bawaan ini sudah ada sejak lahir, yaitu pemikiran, Allah dan keluasan.
1) Pemikiran
Sebab saya memahami diri saya sendiri saya sebagai makhluk yang berpikir, maka harus diterima juga bahwa pemikiran itu merupakan hakikat saya.
2) Allah
Allah sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide “sempurna”, mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk idea itu, karena akibat tidak dapat melebihi penyebabnya. Wujud yng sempurna itu tidak hanyalah Allah.
3) Keluasan
Saya mengerti materi sebagai keluasan atau ekstensi, sebagaimana yang dilukiskan dan dipelajari oleh para ahli ilmu ukur.
b. Empirisme
Lawan rasionalisme adalah empirisme. Jadi, bukan budi yang menjadi sumber dan pangkal pengetahuan, melainkan indra atau pengalamanlah yang menjadi pangkal pengetahuan. Menurut pendapat penganut empirisme, metode ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori, tetapi a posteriori, yaitu metode yang berdasarkan atas hal-hal yang datang, terjadinya atau adanya kemudian.
Kalau rasionalis berpendapat bahwa manusia sejak lahir telah dikaruniai ide oleh Tuhan yang dinamakan idea innate atau idea terang benderang atau idea bawaan, maka kaum empiris berpendapat berlawanan. Mereka mengatakan bahwa waktu lahir jiwa manusia itu putih bersih (tabularasa), tidak ada bekal dari siapa pun.
c. Kritisme
Seorang filosof Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) telah melakukan usaha untuk menjembatani pandangan-pandangan yang saling bertentangan antara rasionalisme dan empirisme. Kritisme adalah sebuah teori pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsur dalam filsafat rasionalisme dan empirisme dalam suatu hubungan yang seimbang, yang satu tidak terpisahkan dari yang lainnya. Menurut Kant, pengetahuan merupakan hasil terakhir yang diperoleh dengan adanya kerjasama di antara dua komponen, yaitu disatu pihak berupa bahan-bahan yang bersifat pengalaman indrawi.
d. Idealisme
Ketidakpuasan terhadap ajaran Kant muncul yang justru dilakukan oleh murid-muridnya sendiri. Mereka tidak puas terhadap ajaran Kant yang mengatakan bahwa “Akal manusia tidak akan sampai pada pengetahuan tentang tentang fenomena atau gejala-gejala saja”.
Para murid Kant yang dulu setia bahkan berbalik menyerang Kant, dan mereka bermetafisika untuk mencari suatu dasar bagi renungan mereka. Dasar itulah yang kemudian dibangun menjadi suatu system metafisika. Mereka sangat memerhatikan kesadaran dan pengalaman yang dicari dan didapat dari dasar tindakan. Dasar tindakan itu adalah “AKU” yang merupakan subjek yang sekonkret-konkretnya. Dari dasar tersebut, lahirlah kesimpulan dan memberi keterangan tentang keseluruhan yang ada. Yang ada itulah yang disebut idealisme.
Karena idealisme itu berdasarkan subjek, maka ada yang menyebut aliran idealisme-subjektif. Tokoh-tokoh terkemuka idealisme ini adalah J.G. Fichte (1762-1814), F.W.J. Schelling (1775-1854), dan G.W.F. Hegel (1770-1831). Ficthe mengakui dan memberi prioritas yang tinggi kepada “AKU”, sehingga “aku” itu pun dianggapnya sebagai satu-satunya realitas. Hal ini dapat dimengerti, karena “aku yang otonom dan merdeka, menempatkan diri menjadi sadar akan objek yang dihadapi, yaitu bukan aku. Buka aku ini adanya tergantung pada aku dan fungsinya adalah yang harus dihadapi dan diatasi. Perkembangan terletak sepenuhnya pada hasil pengatasan objek (bukan aku).” Oleh karena itu, aku ini akan tampak sebagai titik tolak pandangannya dan merupakan criteria terakhir dari kebenaran pengetahuan. Dengan demikian, idealisme Fitchte ini tampak sangat subjektif.
Pandangan yang lebih jauh dan luas dalam aliran ini adalah pandangan Schelling. Ia mengaku bahwa objek (bukan aku) itu sungguh-sungguh ada. Sebaliknya, kalau Fichte mengatakan bahwa adanya objek (bukan aku) itu tergantung pada aku (subjek), jadi objek itu muncul dari aku, maka Schelling tidak demikian. Ia megatakan bahwa aku (subjek) muncul dari alam (bukan aku) yang sungguh-sungguh ada. Akan tetapi, munculnya aku dari alam adalah yang telah sadar, jadi tampak ada keserasian dengan pandangan Fichte. Lebih lanjut dikatakan bahwa kedudukan budi dan alam itu sederajat, yakni berhadap-hadapan sebagai subjek dan objek. Sebenarnya, keduanya itu muncul dari Tuhan yang semakin tinggi dengan sederajatnya. Budi juga muncul dari Tuhan yang yang menyadari lalu menjelma menjadi ilmu, moral, sejarah, negara, dan seterusnya. Jadi, karena Schelling mengakui adanya objek sebagai realitas, maka idealismenya dinamakan idealisme-objektif.
Lebih mendalam lagi adalah idealismenya Hegel yang sangat konsesuen. Corak umum filsafat Hegel adalah “dialektika”, yaitu tesis yang menimbulkan antithesis dan membentuk sintesis, dan sintesis ini sekaligus adalah sintesis baru, dan begitu seterusnya.
Filsafat Hegel mencari yang mutlak daripada yang tidak mutlak. Yang mutlak adalah ruh (jiwa), tetapi ruh itu menjelma pada alam yang sadar akan dirinya. Ruh adalah idea, artinya berpikir. Dalam sejarah kemanusiaan, ruh sadar akan dirinya, dan kemanusiaan merupakan bagian daripada idea yang mutlak, yaitu Tuhan. Selanjutnya dikatakan bahwa idea yang berpikir itu sebenarnya adalah gerak, yaitu gerak yang menimbulkan gerak yang lain. Gerak ini mewujudkan suatu tesis yang dengan sendirinya menimbulkan gerak yang berlawanan, yaitu antithesis. Akhirnya, ada tesis gerak yang mutlak dan antitesis ini menimbulkan sintesis yang sekaligus merupakan tesis baru serta kemudian menimbulkan pula antitesis, begitulah seterusnya.
Jadi, filsafat Hegel memberikan suatu kesimpulan bahwa pada hakikatnya yang mutlak adalah gerak, bukannya sesuatu yang tetap dan tidak berubah serta melatarbelakangi suatu hal. Proses gerak secara dialektika itu dapat berlaku pada segala kejadian dan berlaku menurut hokum budi. Kren itulah Hegel datang pada kriterianya bahwa semua yang masuk akal itu sungguh-sungguh ada, dan apa yang sungguh-sungguh ada itu dapat dipahami.
e. Positivisme
Lain negeri lain pula perkembangannya. Begitu pula perkembangan filsafat di prancis. Di sana, orang mengalami suatu revolusi yang hebat. Wahyu dan agama ditumbangkan dari kedudukannya dan diganti dengan tradisi sebagai pegangan dan kepastian berpikir. Aliran ini disebut tradisonalisme. Di lain pihak, di Prancis juga muncul aliran baru, yaitu positivisme, yang ditokohi oleh Auguste Comte. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.
Tokoh-tokoh positivisme antara lain adalah H. Taine (1828-1893), yang mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik dan kesastraan. Emile Durkheim (1858-1917) yang menganggap positivisme sebagai asas sosiologi. John Stuart Mill (1860-1873), seorng filosof Inggris, yang menggunakan system positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan.
f. Fenomenologi
Menurut Husserl “prinsip segala prinsip” ialah bahwa hanya intuisi langsung (dengan tidak menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai sebagai kriteria terakhir dibidang Filsafat. Hanya apa yang secara langsung diberikan kepada kita dalam pengalaman dapat dianggap benar dan dapat dianggap benar “sejauh diberikan”. Dari situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara langsung kepada saya sebagai subjek, seperti akan kita lihat lagi. Fenomenologi merupakan ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi mempelajari suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri.
“fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita., realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu.
g. Strukturalisme
Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap.
Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat).
Para strukturalis filosofis yang menerapkan prinsip-prinsip strukturalisme linguistic dalam berfilsafat beraksi terhadap aliran filsafat fenomenologi dan eksistensialisme yang melihat manusia dari satu sudut pandangan subyektif. Para penganut aliran filsafat ini memiliki corak beragam, namun demikian mereka memiliki keamaan, yaitu penolakan terhadap prioritas kesadaran.
h. Evolusionisme
Akibat perkembangan aliran positivisme, lahirlah aliran evolusionisme. Tokoh aliran ini yang terkenal adalah Charls Darwin (1809-1882) dan Herbert spencer (1802-1903). Darwin mengajukan teori perkembangan bagi segala sesuatu termasuk manusia. Manusia adalah perkembangan tertinggi dari taraf hidup yang paling rendah, yaitu alam, dan juga diatur oleh hokum-hukum mekanik. Hokum “survival of the fittest dan hokum struggle for live” pada tumbuh-tumbuhan dan hewan, berlaku pula pada manusia, dan itu merupakan hokum tertinggi bagi manusia. Karena itulah, ia sampai memandang bahwa manusia tidak berbeda dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan serta dengan benda apa pun. Suatu prediksi pun muncul karena perkembangan ini, yang mengatakan bahwa suatu hari nanti akan muncul manusia yang lebih sempurna dari manusia saat ini.
Jika ditinjau dari segi filsafat, pada intinya hal ini tidak berbeda dengan pandangan positvisme tentang ilmu pengetahuan. Manusia tidaklah tahu mengenai hal-hal yang mengatasi pengalaman, karena yang sungguh-sungguh ada adalah yag dialami, sedangkan yang lain bukanlah kesungguhan. Demikianlah pandangan Darwin, sehingga alirannya disebut Darwinisme.
Sedangkan Herbert Spencer memberikan kemajuan ada system filsafat evolusionisme ini. ia berpendapat bahwa yang dapat dikenal adalah “menjadi” bukannya yang “ada”. Ilmu merupakan sebagian dari engetahuan “menjadi”, sedangkan filsafat adalah keseluruhan dari pngetahuan “menjadi” tersebut. Ilmu mempunyai pangkalnya pada kebenaran apriori: ketidakmusnahan bahan, kekkekalan gerak, dan pertahanan kekuatan. Proses dunia ini tidak lain adalah perkumpulan kembali gerak dan bahan. Karena itu evolusi adalah peralihan dari bahan mati. Evolusi member keterangan-keterangan akan hubungan di antara gejala-gejala. Akan tetapi, evolusi tidak memberi keterangan terakhir kepada adanya gejala-gejala itu.
i. Postmodernisme
Pada abab ke-20 ada aliran filsafat yang pengaruhnya dalam dunia praktif cukup besar, yaitu aliran filsafat pragmatism. Seorang tokoh pragmatism yaitu Willen jams (1842-1910) membedakan dua macam bentuk pengetahuan, pertama; pengetahuan yang langsung diperoleh dengan jalan pengamatan. Kedua, merupakan pengetahuan tidak langsung yang diperoleh dengan melalui pengertian.
Postmodernisme sebgai trend dari suatu pemikiran yang sangat popular pada penghujung abad ke-20 ini merambah berbagai bidang dan disiplin ilmu filsafat dan ilmu pengetahuan. Istilah “postmodernisme: telah digunakan dalam demikian banyak bidang dengan hiruk-pikuk, yang merupakan reaksi terhadap kegagalan modernism.
Jurgen Habermas adalah filosof abad ke-20 dapat dikategorikan sebagai filosof postmodernisme, namun ia juga tokoh utama mazhab Frankfurt atau teori kritis.
j. Non-Aliran
Selain dari filosof-filosof yng termasuk aliran-aliran tersebut di atas, ada beberapa filosof dalam filsafat barat yang berpengaruh dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, diantaranya Kartl Raimund Popper.
Filosof berikutnya adalah Paul Kartl Feyeraband, ia terkenal dengan istilah anarkisme epistemology, yang kemudian dipertentangkan dengan anarkisme politik atau religious.
TESTIFIER: Nabilah Ashraff
BalasHapusLOKASI: Semarang di Indonesia
email: nabilahashraff@gmail.com
HIBAH PINJAMAN: Rp500.000.000
BANK RAKYAT INDONESIA
PERUSAHAAN PINJAMAN: PERUSAHAAN PINJAMAN RIKA ANDERSON
ALAMAT: Amerika Serikat
Situs web: https://rikaandersonloancompany.com
Email: support@rikaandersonloancompany.com
email: rikaandersonloancompany@gmail.com
www.wasap.my/+19295260086/RikaAndersonloancompany
Whatsapp: +1(929)526-0086
WA: +6285854125084
Damai selalu bersamamu! Nama saya ny. Nabilah Ashraff dari Karel Sasuit Tubun di Semarang di Indonesia, saya ingin menggunakan media ini untuk memberitahu semua orang agar berhati-hati untuk mendapatkan pinjaman di sini, begitu banyak kreditur di sini adalah penipu dan mereka di sini untuk menipu Anda dengan uang Anda.
Saya meminjam sekitar 100 juta dari seorang wanita di Malaysia dan saya kehilangan sekitar 6 juta tanpa pinjaman, mereka berulang kali meminta pembayaran, saya membayar hampir 6 juta, jadi saya tidak mendapatkan pinjaman, Tuhan itu mulia, saya bertemu teman online harum ahmadzulkifli harumahmadzulkifli@gmail.com dan endang nisrina endangnisrina@gmail.com yang bersaksi tentang bagaimana dia mengajukan pinjaman, dan dia mendapat pinjaman tanpa tekanan, jadi dia memperkenalkan saya kepada Ibu. PERUSAHAAN PINJAMAN RIKA ANDERSON, dan saya mengajukan 500 juta, saya pikir ini lelucon dan kecurangan, tetapi saya mendapatkan pinjaman di rekening BRI saya dalam waktu kurang dari 4 jam hanya 2% tanpa jaminan.
Saya sangat senang bahwa saya selamat dari kemiskinan. Jadi saya menyarankan semua orang di sini yang membutuhkan pinjaman untuk menghubungi Anda. Sekali lagi terima kasih telah membaca kesaksian saya, semoga Tuhan memberkati kita semua dan memberi kita semua umur panjang dan kemakmuran.